Rabu, 20 Februari 2008

Visi & Misi BEM STAINU Jakarta

Visi & Misi
Visi & Misi BEM STAINU 2008-2009

VISI :

“Membentuk BEM STAINU Jakarta yang berkarakter Sosial, berbudaya dengan acuan norma-norma agama dengan berbasis kerakyatan dan menjadikan BEM STAINU Jakarta sebagai basis gerakan moral dan intelektual mahasiswa.”

MISI:

1. Menjadikan BEM STAINU Jakarta sebagai basis gerakan sosial, budaya dengan norma-norma agama serta
berbasis kerakyatan, sebagai bentuk perjalanan mahasiswa STAINU Jakarta.
2. Tetap menjadikan pendidikan sebagai isu utama dan ruh gerakan.
3. Membentuk dan mengembangkan jaringan.
4. Meng-Upgrade potensi, intelektual, dan moral mahasiswa BEM STAINU Jakarta.
5. Sinergisitas KM BEM STAINU Jakarta baik secara struktural maupun kultural.

TARGET :

1. Mulai terlihatnya dengan jelas bahwa gerakan BEM STAINU Jakarta adalah gerakan sosial, budaya,
dengan acuan norma-norma agama serta berbasis kerakyatan, moral dan intelektual mahasiswa.
2. Kaderisasi yang menjadi lebih baik.
3. Memiliki jaringan baik lokal, regional, maupun nasional dan ter”follow-up’i.
4. Mulai terlihatnya bargaining position dengan Penelitian di mata mahasiswa dan juga birokrasi BEM
STAINU JAKARTA.

FUNGSI & PERANAN STRATEGIS BEM STAINU JAKARTA 2008-2009 :

1. Sebagai lembaga pelaksana kebijaksanaan organisasi BEM STAINU Jakarta di tingkat kampus .
2. Sebagai lembaga pengembangan intelektual dan jati diri mahasiswa di kampus.
3. Sebagai lembaga pengembangan keterampilan manajemen organisasi di kampus.
4. Sebagai pusat riset dan kajian umum (kondisi mahasiswa secara umum, birokrasi, dan masyarakat).
5. Sebagai pusat pengadvokasian mahasiswa di kampus, pelayanan mahasiswa (secara umum) dan pengabdian
masyarakat.
6. Sinergisator lembaga umum di BEM STAINU Jakarta.
7. Sebagai pusta gerakan sosial politik mahasiswa STAINU Jakarta baik intern maupun ekstern.
8. Sebagai pengembangan jaringan komunikasi mahasiswa baik tingkat lokal, regional maupun nasional.
8. Sebagai pusat pewacanaan isu mengenai kondisi kampus dan publik.
SUSUNAN KEPENGURUSAN BEM STAINU JAKARTA
Presiden Mahasiswa : Naylur Rosyid
Wakil Presiden Mahasiswa : Fais Fauzi
Menteri-menteri
Menteri Sekertaris :
Wahyuning Fatimah
Fuadul Umam
Novi Setia Anjani
Mentri Ekonomi dan Keuangan :
Fazriah
Ulfa Anisiyah
Ani Surya Ningsih
Menteri Dalam Negri :
Taufiq tauhid
Zakaria Anshori
Cynthia Aufika Sururi
Menteri Luar Negeri :
Atif Ni'amuddin
Lukmanul Hakim
Solihin Sirsaebo
Menteri Agama :
Muhammad Rofiq
Agus Soleh
Neneng Hasanah
Menteri Sosial dan Budaya
Abdul Mutholib
Rohman Hidayah At-Thorik
Sobriah

Rabu, 13 Februari 2008

MEMPERKOKOH NILAI-NILAI PANCASILA

MEMPERKOKOH NILAI-NILAI PANCASILA
DALAM KEHIDUPAN BER-INDONESIA
Sebagai Wujud Nasioalisme Berbangsa dan Bernegara
Oleh : Aris Adi Leksono[1]

Sebentar lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini sampai pada umurnya yang ke 62 tahun (17 Agustus 2007), sejak negara ini dideklarasikannya telah memilih Pancasila sebagai Falsafah Hidup dalam kehidupan masyarakatnya. Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa melalui ijtihat para deklarator NKRI setelah melihat kondisi sosiologis masyarakat indonesia yang majmuk, hidrogen, plural, bersuku-suku, atau sederhananya “Kehidupan Sosial yang Beranekaragam”.
Pancasila dengan seratan lima butir di dalamnya, didesain sedemikian rupa untuk mengakomodir kemajemukan bangsa Indonesia. Sehingga meskipun memilki kondisi sosialnya beragam, baik dalam hal agama, suku, bahasa, dan lain-lainnya, tetepi kehidupan yang dirasakan tetap utuh, toleran, rukun, damai dan bersatu dalam bingkai cerminan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana temaktub dalam cengkraman kaki Lambang Burung Garuda “Bhenika Tunggal Ika”. Kira-kira itulah cita-cita besar yang harus dipahami segenap elemen bangsa, kenapa nilai-nilai pancasila perlu dipertahankan dimuka bumi Indonesia ini sampai dunia ini berakhir.
Seiring perjalanan bangsa Indonesia yang kita cintai, situasi dan kondisi juga berubah, pelaku pemerintahan pun berpindah-pindah, dari Orde Lama yang dimotori oleh Soekarno, kemudian Orde Baru oleh Soeharto dengan “demokrasi semu” dan asas tunggalnya, sampai sekarang Orde Reformasi yang telah melahirkan beberapa pemimpin bangsa yang kontrofersial, dan ketidak jelasan sistem penyelenggaraan Negara, eksistensi Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa pun ikut teruji, terkaburkan dan bahkan dihilangkan. Pancasila dengan subtansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dicita-citakan sebagai landasan gerak, cara pandang, dan pola pikir kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Kini nilai-nilai tersebut telah terdegradasi dengan berbagai aksi yang mengatasnamankan agama, entis, budaya, suku, sentimen adat kedaerahan, bahkan atas nama Negara. Semua itu bisa kita buktikan dengan melihat realita akhir-akhir ini.
Fenomena yang tidak mencerminkan pengamalan nilai-nilai pancasila, dan mengancam kesatuan NKRI diantaranya, Pertama, sebagian organisasi masyarakat (Ormas) islam -selaku mayoritas masyarakat indonesia- telah berusaha untuk memformalisasikan ajaran islam di tengah kemajemukan bangsa Indonesia dalam aktifitas hubungan sesamanya (hablun min Annas) serta dalamberbagai aspek kehidupan lainnya. Akibatnya manifestasi kehidupan pancasila sebagai falsafah hidup masyarakat Indonesia menjadi terabaikan. Harapan mereka negara tidak diatur dengan asas “Pancasila”, tetapi diatur menurut keinginan sebagian orang yang cenderung mendominasi sistem secara total, berdasarkan keinginan kelompon tertentu yang ingin memecah belah keutuhan NKRI. Banyak Ormas yang mengatasnamakan agama mulai unjuk gigi dengan menyodorkan gaya-gaya eksklusif, anarkis, simbolis, strukturalis, bahkan sudah masuk dalam sistem pemerintahan. Tanpa memperhatihan kemajemukan kehidupan masyarakat Indonesia, serta tidak menghayati nilai-nilai Pancasila dalam ber-Indonesia. Imbasnya secara tidak langsung telah mengeliminasi nilai-nilai kebangsaan, akibatnya nasionalisme yang mendarah daging di dada masyarakat Indonesia mulai tergoyahkan.
Kedua, munculnya berbagai macam peratuaran daerah (Perda) yang berafiliasi pada hukum syari’ah, hukum peradatan dan lainnya. Perda yang digagas hanya menurut gagasan sebagian kelompok mayoritas saja, tanpa memperhatikan kehidupan minoritas di sekitarnya. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial, kehidupan bermasyarakat semakin tidak harmonis. Bahaya besarnya adalah akan muncul PERDA-PERDA lain yang mengatasnamakan agama, ras, etnik, dan lain sebagainya. Ancaman disintegrasi bangsa ini semakin tak terhindarkan.
Ketiga, dalam hal penyelesaian problem publik, pemerintah kurang mampu dalam melindungi masyarakatnya dalam menghadapi dan memecahkan masalah publik. Misalnya dalam kasus pemberantasan terorisme, pemerintah terkesan “didekte”, diintervensi oleh pihak lain, akibatnya rakyat indonesia dihantui dengan isu-isu tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan kadang juga berbenturan dengan hak asasi menusia (HAM), pada problem lain pemerintah terkesan kurang tegas dalam merespon gerakan-gerakan islam radikal, anarkis, dan simbolis, sehingga dalam hal ini pemerintah terkesan mengikuti keinginan mereka, tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang seharusnya lebih mengedepankan penghargaan kearifan budaya lokal.
Keempat, pada sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan kurang dapat mengakomodir kondisi publik, bahkan kebijakan yang dikeluarkan terkesan dapat merugikan masyarakat. kebijakan tentang pemberantasan terorisme misalnya yang sempat menggema di Negara mayoritas bercorak religi ini, kebijakan eksploetasi SDA Indonesia yang tidak mencerminkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, banyaknya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih debatable dikarenakan bukan berangkat dari pengahargaan terhadap budaya lokal, tetapi hanya mewakili kepentingan sebagian kelompok, serta banyak lagi kebijakan lainnya.
Realita tersebut menggambarkan bergitu “multi kompleknya” permasalahan yang dapat mengancam Nilai-nilai Pancasila yang merupakan cerminan nasionalisme berbangsa dan bernegara, belum lagi masalah-masalah global lainnya. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang bangun pemerintah semakin menurun, sehingga menimbulkan berbagai reaksi aksi-aksi kerakyatan, apalagi melihat persoalan kebijakan pemerintahan yang makin hari tidak jelas arah perbaikannya, lemahnya sistem penegakan Hukum, HAM dan pertahanan nasional. Hal itu menimbulkan pertanyaan apakah kita akan tetap pada keadaan yang ada, tanpa adanya perubahan yang mengarah kepada perbaikan sistem? Atau akan melakukan perubahan dan perbaikan dengan mengatasnamakan agama, ras, daerah, dll, sehingga perbaikkan yang tercapai akan sesuai dengan cita-cita luhur fanding father bangsa, tanpa memperhatikan ancanaman disintegrasi bangsa, tanpa mementingkan subtansi Nasionalisme yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila?, Apakan kita akan kembali pada sistem “Asas Tunggal” orde baru sebagai solusinya? Ataukah kita biarkan keadaan ini, sebagaimana sistem orde lama, dengan “multi partainya”?. Intinya orde reformsi telah gagal, tidak adak sistem yang jelas, pemimpin bangsa telah sibuk dengan kekuasaanya, rakyat diterlantarkan, akibatnya mereka juga mencari perlindungan sendiri-sendiri. Bukan lagi cenminan kehidupan pancasila yang mengedepankan gotong royong, kebersamaan, tolong menolong, daan lain sebagainya
Berangkat dari pembacaan di atas, masih susah dilupakan prinsip NU “memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”, dan setidaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperbaiki kondisi bangsa dengan dasar pengamalan nilai-nilai pancasila. Bahwa nilai-nilai pancasila adalah cerminan kemajemukan seluruh aspek bangsa ini yang selalu harus dikedepankan dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan bersma. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal merupakan modal besar bangsa ini untuk maju ke depan dengan senantiasa memperhatikan makna-makna filosofis setiap butir yang terkandungan Pancasila. Budaya masyarakat kita adalah budaya gotong royong, saling menghargai, tolong menolong, serta toleran dalam bersikap dan bertindak, maka meninggalkan budaya tersebut berarti juga telah menggurkan nilai-nilai pancasila, akibatnya rasa Nasionalime yang menjadi modal besar untuk mengusir penjajah dari tanah air ini, semakin hari semakin luntur. Selamat HUT RI ke 62, Merdeka....Merdeka....
[1] Ketua Umum PC PMII Jakpus Priode 2007 – 2008

SAATNYA NU MEMPERKOKOH RANAH “SERVIS PUBLIK”

SAATNYA NU MEMPERKOKOH RANAH “SERVIS PUBLIK”
Oleh : Aris Adi Leksono[1]

Merefleksikan perjalanan NU yang sudah berumur 82 tahun, membuat penulis larut sejenak dalam sebuah syair grub nasyied berasal dari semarang bernama “Qosidah Ria” yang tenar di awal-awal tahun sembilan puluhan, dengan tajuk “tahun duaribu“ atau bahasa populernya era milinium. Subtansi syair terebut adalah “tahun duaribu adalah tahun harapan, serba maju dan teknologi semakin canggih, semua kebutuhan manusia akan muda terpenuhi, semua serba instant, serba dilayani oleh mesin bukan lagi tenaga manusia yang dominan, ironisnya moral manusia akan semakin bejat”.

Subtansi syair tersebut seakan memberikan warning kepada kita, baik secara individu maupun kolektif, akan kondisi hidup di era modern, mulai dampak arus industrialisasi, globalisasi, liberalisasi, westernisasi, kapitalisasi, serta dampak-dampak modernisasi lainnya, sehingga dibutuhkan kondisi yang benar-benar faiter untuk bisa menjaga “eksistensi” di era tersebut. Karena jika tidak demkian, yang terjadi adalah kekalahan dan akhirnya ambruk tidak jelas landasan fikir, gerak dan tingkah lakunya dalam menapaki bahtra kehidupan.

Refleksi syair tersebut, juga dapat dijadikan modal untuk menengok kondisi rumah tangga NU, apakah hal-hal yang berbau “isasi” telah membuat NU ambruk?, sehingga “keder” alias tidak adanya kesesuaian antara pola fikir dengan keberpihakan gerakannya, tidak dapat membedakan mana kepentingan pribadi atau golongan dan mana kepentingan oraganisasi. Jawaban “tidak atau iya”, itu tidak penting, yang paling penting adalah kita lihat realita sikap dan tingkah laku personal NU, baik di kalangan elitnya maupun grass roodnya di era akhir-akhir ini.

Sejarah mencatat bahwa NU ada, karena motifasi sosial dan keagamaan, yang di dalamnya berafiliasi pada motif ekonomi, yakni menuju kesejahteraan dan kemandirian umat, serta berafiliasi juga pada motif pelestarian dan pengembangan budaya dan tradisi bangsa indonesia yang telah mengalami proses islamisasi oleh para penyebar Islam di bumi Nusantara.

Dalam menentukan sikap, para founding father NU mengedepankan kombinasi prinsip “Al-Muhafadzoh dan Al-Akhdzu”, yakni hati-hati dan waspada menyikapi hal yang baru, degan selalu menengok kebiasaan lama (tradisionalitas) sebagai dasar pijakan untuk menatap langkah ke depan (modernitas) yang lebih baik. Hal itu dimaksudkan untuk mempertegas sikap moderat NU dalam semua keputusan yang diambil. Prinsip itu juga tidak hanya diterapkan pada disiplin fikih, tetapi juga pada dimensi-dimensi aktifitas ke-NU-an lainnya.
Subtansi prinsip seperti itu juga kita jumpai pada proses masuknya Islam di Indoensia, khususnya di Pulau Jawa, oleh para Wali Songo. Meskipun, Islam adalah suatu hal yang baru di waktu itu (berbagai versi : abad ke 7, ke 13, atau ke 17), tetapi dengan prinsip al-muhafadzoh (penjagaan terhadap nilai tradisi yang baik) Wali Songo mampu membumikan nilai-nilai Islam dalam tradisi masyarakat Jawa, yang mayoritas berfaham animisme, dinamisme, beragama Hindu, dan Budha.

Begitu juga NU dengan perjalanan panjangnya (sekarang; 82 tahun), di era awal perjalanannya NU sangat mengedepankan prinsip kombinasi tersebut, sehingga menjadi ciri khas gerakan-gerakan NU di masa itu. Pada perjalanan selanjutnya NU yang tadinya hanya komunitas kecil, didirikan oleh para pemuda yang memiliki keperihatinan lebih terhadap nasip masyarakat lokal, menjelma menjadi entitas yang sangat diperhitungkan di masyarakat Indoensia. Peranannya dalam dunia pendidikan di level graas rood sudah menjadi ciri tersendiri, dari pra kemerdekaan, perebutan masa kemerdekaan, pasca kemerdekaan, peran NU tidak dapat dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam peran keagamaanya, NU di masa itu selalu menjadi garda dalam setiap problem keagamaan, tidak hanya secara simbolik struktural saja, tetapi juga meresap sampai kultur warga nahdliyin, sehingga NU benar-benar mendapatkan apresiasi yang luar biasa, dari level atas sampai bawah.

Pada era 90-an melalui anak-anak mudanya, NU menjelma menjadi raksasa intlektual yang masih tetap dominan ciri moderatnya (kombinasi tradisional dan modern). NU yang tadinya hanya dikenal sebagai barisan kaum tradisional, umat pinggiran dengan ciri has sarungannya, berubah menjadi komunitasi yang diperhitungkan dalam dunia gerakan pemikiran dan hal-hal lainnya, baik di dalam Negeri maupun di luar Negeri, sehingga NU menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan dalam berbagai diskursus. Lantas pertanyaannya sekarang apakah kondisi tersebut (prinsip kombinasi ”Al-Muhafadzoh dan Al-Akhdzu”, keberpihakan terhadap masalah kesosialan dan keagamaan dengan tetap memelihara tradisi) masih kita jumpai, baik di level elite maupun nahdliyin kelas bawah? Jawabannya bisa kita lihat dari beberapa fakta gerakan NU sekarang ini.

Ironisnya pada perkembangan dewasa ini, secara usia seharusnya NU berada pada puncak kematangan, justru mengalami alienasi di level graas rood, terutama dalam hal komitmennya menjalankan prinsip-prinsip perjuangan sosial keagamaannya, sehingga peran-peran sosial kemasyarakatan yang dulu menjadi ciri has perjuangan NU, sekarang diambil alih golongan lain yang lebih peka terhadap kebutuhan umat. Elit NU lebih disibukkan pada persoalan politik, perebutan struktur, dan pembagian “kue” yang rentan menimbulkan konflik dan perpecahan.

Kondisi dewasa ini struktural elit NU memang mengalami kemajuan, terutama dalam hal hubungan internasional, diplomasi, dan pada sebagian hal lain, tetapi anehnya itu tidak diberangi dengan memberikan perhatian kemajuan kehidupan sosial nahdliyin, terutama perhatian terhadap problem sosial kemasyarakatan (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi berbasis keumatan) yang seringkali menjadi ancaman kehidupan masyarakat kelas bawah. Hal itu mengasumsikan bahwa seakan ada jarak yang sengaja dibikin oleh para elit guna mengamankan perjalanannya dalam menjalankan prinsip al-akhdzu (terus mengambil dan mengeksploitasi) atas nama organisasi untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Seakan masyarakat bawah adalah urusan agen kultur NU yang cukup diperhatikan oleh segentir orang yang memiliki komitmen terhadap citra khittoh perjuangan NU.

Berangkat dari bacaan kondisi riil masyarakat NU dari masa ke masa tersebut, sebagai anak muda NU, penulis merasa gembira dengan kemajuan NU saat ini, dan salut pada sebagian personal NU yang masih komit terhadap prinsip perjuangan khittoh UN. Tetapi pada kondisi lain, terutama kondisi “NU kampung” penulis merasa sedih karena organisasi sebasar ini tidak mampu mengentaskan warganya dari kemiskinan, kesakitan, ketertindasan, dan problem-problem sosial kemasyarakatan lainnya, bahkan hari ini organisasi yang mengklaim berbasis empatpuluh juta massa terancam eksistensinya oleh gerakan-gerakan islam fundamentalis, islam radikal, islam liberal, dan gerakan-gerakan islam yang terinjeksi setting neo-liberal, atau kalau boleh meminjam bahasa Rais ‘Am PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, Islam berideologi transnasional.

Kemajuan dan kemunduran adalah merupakan suatu hal yang wajar, tetapi akan menjadi kurang ajar jika “kemunduran” yang dialami itu tidak disadari secara kolektif dan responsif, sehingga perubahan yang ditimbulkan berdasarkan kesadaran tersebut, akan berjalalan secara berkelanjutan (intiqomah). Kejadian yang berlalu adalah pengalaman, yang dapat dijadikan guru untuk melangkah ke depan. Warga NU dimasa lampau memiliki potensi besar pada sektor-sektor riil, pendidikan, ekonomi agraria, dan tradisi pembinaan kemasyarakatan yang berkesinambungan (sustanable). Potensi itu merupakan modal besar untuk kembali meneguhkan komintmen prinsip-prinsip perjuangan UN yang berbasis sosial kemasyarakatan. Artinnya gerakan NU ke depan harus konsen pada ranah “service publik”, menghidupkan sektor-sektor riil merupakan keharusan, guna menciptakan kemandirian dan kesejahteraan nahdliyin di semua lini dan level masyarakat, dari pada NU harus bergantung dan bernegosiasi dengan agen-agen yang tidak sesuai dengan arah khittoh perjuangan NU. Allahu ‘alamu bis Showabi
[1] Ketua Umum PC PMII Jakarta Pusat 2007 – 2008, Aktif Sebagai Mahasiswa STAINU Jakarta

Selasa, 12 Februari 2008

Kongres BEM STAINU Jakarta

BEM STAINU Jakarta adalah organisasi mahasiswa STAINU Jakarta yang terintregrasi langsung dengan STAINU Jakata dan terbentuknya BEM STAINU Jakarta adalah dari gagasan keinginan mahasiswa yang kuat untuk memberika wadah bagi para mahasiswa STAINU Jakarta untuk berkreasi dan mengembangkan daya nalar intelektual mahasiswa.
Kongres Mahasiswa STAINU Jakarta yang ke IV yang bertempat di Asrama Mahasiswa Al-Qudsi Jakarta Selatan pada tanggal 9 - 11 Februari 2008 , merupakan sebuah langkah untuk memajukan BEM STAINU Jakarta lebih komperhensif dan lebih sesuai dengan keadaan mahassiswa, sehingga mahasiswa lebih muda mampu menelaah permasalahan-permasalahan yang ada dan dari pengetahuan masalah tersebut mahasiswa mampu menyelesaikannya. dan lewat kongres inilah paara mahasiswa mampu mengaspirasikan keinginannya sebagai rekomendasi kepada Presiden BEM selanjutnya, sehingga perjalanan BEM STAINU Jakarta sesuai dengan keinginan mahasiswa.
Kongres Mahasiswa BEM STAINU Jakarta yang bertempat di Asrama yang diasuh oleh K.H. Abdul Aziz Amin (mantan surya PBNU) mendapatkan hasil denga merubah AD/ART dan GBHO serta ketua KMS (kongres Mahasiswa STAINU), dan Presiden Mahasiswa, adapun susunan sementara adalah sebagai berikut:

KMS :
Ketua : Abdul Kholik
Sekertaris : Fathu Yasik

Presiden Mahasiswa : Naylur Rosyid

Superfisi pendidikan

Badan Eksekutif Mahasiswa Se