Rabu, 13 Februari 2008

MEMPERKOKOH NILAI-NILAI PANCASILA

MEMPERKOKOH NILAI-NILAI PANCASILA
DALAM KEHIDUPAN BER-INDONESIA
Sebagai Wujud Nasioalisme Berbangsa dan Bernegara
Oleh : Aris Adi Leksono[1]

Sebentar lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini sampai pada umurnya yang ke 62 tahun (17 Agustus 2007), sejak negara ini dideklarasikannya telah memilih Pancasila sebagai Falsafah Hidup dalam kehidupan masyarakatnya. Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa melalui ijtihat para deklarator NKRI setelah melihat kondisi sosiologis masyarakat indonesia yang majmuk, hidrogen, plural, bersuku-suku, atau sederhananya “Kehidupan Sosial yang Beranekaragam”.
Pancasila dengan seratan lima butir di dalamnya, didesain sedemikian rupa untuk mengakomodir kemajemukan bangsa Indonesia. Sehingga meskipun memilki kondisi sosialnya beragam, baik dalam hal agama, suku, bahasa, dan lain-lainnya, tetepi kehidupan yang dirasakan tetap utuh, toleran, rukun, damai dan bersatu dalam bingkai cerminan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana temaktub dalam cengkraman kaki Lambang Burung Garuda “Bhenika Tunggal Ika”. Kira-kira itulah cita-cita besar yang harus dipahami segenap elemen bangsa, kenapa nilai-nilai pancasila perlu dipertahankan dimuka bumi Indonesia ini sampai dunia ini berakhir.
Seiring perjalanan bangsa Indonesia yang kita cintai, situasi dan kondisi juga berubah, pelaku pemerintahan pun berpindah-pindah, dari Orde Lama yang dimotori oleh Soekarno, kemudian Orde Baru oleh Soeharto dengan “demokrasi semu” dan asas tunggalnya, sampai sekarang Orde Reformasi yang telah melahirkan beberapa pemimpin bangsa yang kontrofersial, dan ketidak jelasan sistem penyelenggaraan Negara, eksistensi Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa pun ikut teruji, terkaburkan dan bahkan dihilangkan. Pancasila dengan subtansi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dicita-citakan sebagai landasan gerak, cara pandang, dan pola pikir kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Kini nilai-nilai tersebut telah terdegradasi dengan berbagai aksi yang mengatasnamankan agama, entis, budaya, suku, sentimen adat kedaerahan, bahkan atas nama Negara. Semua itu bisa kita buktikan dengan melihat realita akhir-akhir ini.
Fenomena yang tidak mencerminkan pengamalan nilai-nilai pancasila, dan mengancam kesatuan NKRI diantaranya, Pertama, sebagian organisasi masyarakat (Ormas) islam -selaku mayoritas masyarakat indonesia- telah berusaha untuk memformalisasikan ajaran islam di tengah kemajemukan bangsa Indonesia dalam aktifitas hubungan sesamanya (hablun min Annas) serta dalamberbagai aspek kehidupan lainnya. Akibatnya manifestasi kehidupan pancasila sebagai falsafah hidup masyarakat Indonesia menjadi terabaikan. Harapan mereka negara tidak diatur dengan asas “Pancasila”, tetapi diatur menurut keinginan sebagian orang yang cenderung mendominasi sistem secara total, berdasarkan keinginan kelompon tertentu yang ingin memecah belah keutuhan NKRI. Banyak Ormas yang mengatasnamakan agama mulai unjuk gigi dengan menyodorkan gaya-gaya eksklusif, anarkis, simbolis, strukturalis, bahkan sudah masuk dalam sistem pemerintahan. Tanpa memperhatihan kemajemukan kehidupan masyarakat Indonesia, serta tidak menghayati nilai-nilai Pancasila dalam ber-Indonesia. Imbasnya secara tidak langsung telah mengeliminasi nilai-nilai kebangsaan, akibatnya nasionalisme yang mendarah daging di dada masyarakat Indonesia mulai tergoyahkan.
Kedua, munculnya berbagai macam peratuaran daerah (Perda) yang berafiliasi pada hukum syari’ah, hukum peradatan dan lainnya. Perda yang digagas hanya menurut gagasan sebagian kelompok mayoritas saja, tanpa memperhatikan kehidupan minoritas di sekitarnya. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial, kehidupan bermasyarakat semakin tidak harmonis. Bahaya besarnya adalah akan muncul PERDA-PERDA lain yang mengatasnamakan agama, ras, etnik, dan lain sebagainya. Ancaman disintegrasi bangsa ini semakin tak terhindarkan.
Ketiga, dalam hal penyelesaian problem publik, pemerintah kurang mampu dalam melindungi masyarakatnya dalam menghadapi dan memecahkan masalah publik. Misalnya dalam kasus pemberantasan terorisme, pemerintah terkesan “didekte”, diintervensi oleh pihak lain, akibatnya rakyat indonesia dihantui dengan isu-isu tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan kadang juga berbenturan dengan hak asasi menusia (HAM), pada problem lain pemerintah terkesan kurang tegas dalam merespon gerakan-gerakan islam radikal, anarkis, dan simbolis, sehingga dalam hal ini pemerintah terkesan mengikuti keinginan mereka, tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya, yang seharusnya lebih mengedepankan penghargaan kearifan budaya lokal.
Keempat, pada sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan kurang dapat mengakomodir kondisi publik, bahkan kebijakan yang dikeluarkan terkesan dapat merugikan masyarakat. kebijakan tentang pemberantasan terorisme misalnya yang sempat menggema di Negara mayoritas bercorak religi ini, kebijakan eksploetasi SDA Indonesia yang tidak mencerminkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, banyaknya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih debatable dikarenakan bukan berangkat dari pengahargaan terhadap budaya lokal, tetapi hanya mewakili kepentingan sebagian kelompok, serta banyak lagi kebijakan lainnya.
Realita tersebut menggambarkan bergitu “multi kompleknya” permasalahan yang dapat mengancam Nilai-nilai Pancasila yang merupakan cerminan nasionalisme berbangsa dan bernegara, belum lagi masalah-masalah global lainnya. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang bangun pemerintah semakin menurun, sehingga menimbulkan berbagai reaksi aksi-aksi kerakyatan, apalagi melihat persoalan kebijakan pemerintahan yang makin hari tidak jelas arah perbaikannya, lemahnya sistem penegakan Hukum, HAM dan pertahanan nasional. Hal itu menimbulkan pertanyaan apakah kita akan tetap pada keadaan yang ada, tanpa adanya perubahan yang mengarah kepada perbaikan sistem? Atau akan melakukan perubahan dan perbaikan dengan mengatasnamakan agama, ras, daerah, dll, sehingga perbaikkan yang tercapai akan sesuai dengan cita-cita luhur fanding father bangsa, tanpa memperhatikan ancanaman disintegrasi bangsa, tanpa mementingkan subtansi Nasionalisme yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila?, Apakan kita akan kembali pada sistem “Asas Tunggal” orde baru sebagai solusinya? Ataukah kita biarkan keadaan ini, sebagaimana sistem orde lama, dengan “multi partainya”?. Intinya orde reformsi telah gagal, tidak adak sistem yang jelas, pemimpin bangsa telah sibuk dengan kekuasaanya, rakyat diterlantarkan, akibatnya mereka juga mencari perlindungan sendiri-sendiri. Bukan lagi cenminan kehidupan pancasila yang mengedepankan gotong royong, kebersamaan, tolong menolong, daan lain sebagainya
Berangkat dari pembacaan di atas, masih susah dilupakan prinsip NU “memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”, dan setidaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperbaiki kondisi bangsa dengan dasar pengamalan nilai-nilai pancasila. Bahwa nilai-nilai pancasila adalah cerminan kemajemukan seluruh aspek bangsa ini yang selalu harus dikedepankan dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan bersma. Penghargaan terhadap kearifan budaya lokal merupakan modal besar bangsa ini untuk maju ke depan dengan senantiasa memperhatikan makna-makna filosofis setiap butir yang terkandungan Pancasila. Budaya masyarakat kita adalah budaya gotong royong, saling menghargai, tolong menolong, serta toleran dalam bersikap dan bertindak, maka meninggalkan budaya tersebut berarti juga telah menggurkan nilai-nilai pancasila, akibatnya rasa Nasionalime yang menjadi modal besar untuk mengusir penjajah dari tanah air ini, semakin hari semakin luntur. Selamat HUT RI ke 62, Merdeka....Merdeka....
[1] Ketua Umum PC PMII Jakpus Priode 2007 – 2008

Tidak ada komentar: