Rabu, 13 Februari 2008

SAATNYA NU MEMPERKOKOH RANAH “SERVIS PUBLIK”

SAATNYA NU MEMPERKOKOH RANAH “SERVIS PUBLIK”
Oleh : Aris Adi Leksono[1]

Merefleksikan perjalanan NU yang sudah berumur 82 tahun, membuat penulis larut sejenak dalam sebuah syair grub nasyied berasal dari semarang bernama “Qosidah Ria” yang tenar di awal-awal tahun sembilan puluhan, dengan tajuk “tahun duaribu“ atau bahasa populernya era milinium. Subtansi syair terebut adalah “tahun duaribu adalah tahun harapan, serba maju dan teknologi semakin canggih, semua kebutuhan manusia akan muda terpenuhi, semua serba instant, serba dilayani oleh mesin bukan lagi tenaga manusia yang dominan, ironisnya moral manusia akan semakin bejat”.

Subtansi syair tersebut seakan memberikan warning kepada kita, baik secara individu maupun kolektif, akan kondisi hidup di era modern, mulai dampak arus industrialisasi, globalisasi, liberalisasi, westernisasi, kapitalisasi, serta dampak-dampak modernisasi lainnya, sehingga dibutuhkan kondisi yang benar-benar faiter untuk bisa menjaga “eksistensi” di era tersebut. Karena jika tidak demkian, yang terjadi adalah kekalahan dan akhirnya ambruk tidak jelas landasan fikir, gerak dan tingkah lakunya dalam menapaki bahtra kehidupan.

Refleksi syair tersebut, juga dapat dijadikan modal untuk menengok kondisi rumah tangga NU, apakah hal-hal yang berbau “isasi” telah membuat NU ambruk?, sehingga “keder” alias tidak adanya kesesuaian antara pola fikir dengan keberpihakan gerakannya, tidak dapat membedakan mana kepentingan pribadi atau golongan dan mana kepentingan oraganisasi. Jawaban “tidak atau iya”, itu tidak penting, yang paling penting adalah kita lihat realita sikap dan tingkah laku personal NU, baik di kalangan elitnya maupun grass roodnya di era akhir-akhir ini.

Sejarah mencatat bahwa NU ada, karena motifasi sosial dan keagamaan, yang di dalamnya berafiliasi pada motif ekonomi, yakni menuju kesejahteraan dan kemandirian umat, serta berafiliasi juga pada motif pelestarian dan pengembangan budaya dan tradisi bangsa indonesia yang telah mengalami proses islamisasi oleh para penyebar Islam di bumi Nusantara.

Dalam menentukan sikap, para founding father NU mengedepankan kombinasi prinsip “Al-Muhafadzoh dan Al-Akhdzu”, yakni hati-hati dan waspada menyikapi hal yang baru, degan selalu menengok kebiasaan lama (tradisionalitas) sebagai dasar pijakan untuk menatap langkah ke depan (modernitas) yang lebih baik. Hal itu dimaksudkan untuk mempertegas sikap moderat NU dalam semua keputusan yang diambil. Prinsip itu juga tidak hanya diterapkan pada disiplin fikih, tetapi juga pada dimensi-dimensi aktifitas ke-NU-an lainnya.
Subtansi prinsip seperti itu juga kita jumpai pada proses masuknya Islam di Indoensia, khususnya di Pulau Jawa, oleh para Wali Songo. Meskipun, Islam adalah suatu hal yang baru di waktu itu (berbagai versi : abad ke 7, ke 13, atau ke 17), tetapi dengan prinsip al-muhafadzoh (penjagaan terhadap nilai tradisi yang baik) Wali Songo mampu membumikan nilai-nilai Islam dalam tradisi masyarakat Jawa, yang mayoritas berfaham animisme, dinamisme, beragama Hindu, dan Budha.

Begitu juga NU dengan perjalanan panjangnya (sekarang; 82 tahun), di era awal perjalanannya NU sangat mengedepankan prinsip kombinasi tersebut, sehingga menjadi ciri khas gerakan-gerakan NU di masa itu. Pada perjalanan selanjutnya NU yang tadinya hanya komunitas kecil, didirikan oleh para pemuda yang memiliki keperihatinan lebih terhadap nasip masyarakat lokal, menjelma menjadi entitas yang sangat diperhitungkan di masyarakat Indoensia. Peranannya dalam dunia pendidikan di level graas rood sudah menjadi ciri tersendiri, dari pra kemerdekaan, perebutan masa kemerdekaan, pasca kemerdekaan, peran NU tidak dapat dikesampingkan begitu saja, apalagi dalam peran keagamaanya, NU di masa itu selalu menjadi garda dalam setiap problem keagamaan, tidak hanya secara simbolik struktural saja, tetapi juga meresap sampai kultur warga nahdliyin, sehingga NU benar-benar mendapatkan apresiasi yang luar biasa, dari level atas sampai bawah.

Pada era 90-an melalui anak-anak mudanya, NU menjelma menjadi raksasa intlektual yang masih tetap dominan ciri moderatnya (kombinasi tradisional dan modern). NU yang tadinya hanya dikenal sebagai barisan kaum tradisional, umat pinggiran dengan ciri has sarungannya, berubah menjadi komunitasi yang diperhitungkan dalam dunia gerakan pemikiran dan hal-hal lainnya, baik di dalam Negeri maupun di luar Negeri, sehingga NU menjadi sangat menarik untuk diperbincangkan dalam berbagai diskursus. Lantas pertanyaannya sekarang apakah kondisi tersebut (prinsip kombinasi ”Al-Muhafadzoh dan Al-Akhdzu”, keberpihakan terhadap masalah kesosialan dan keagamaan dengan tetap memelihara tradisi) masih kita jumpai, baik di level elite maupun nahdliyin kelas bawah? Jawabannya bisa kita lihat dari beberapa fakta gerakan NU sekarang ini.

Ironisnya pada perkembangan dewasa ini, secara usia seharusnya NU berada pada puncak kematangan, justru mengalami alienasi di level graas rood, terutama dalam hal komitmennya menjalankan prinsip-prinsip perjuangan sosial keagamaannya, sehingga peran-peran sosial kemasyarakatan yang dulu menjadi ciri has perjuangan NU, sekarang diambil alih golongan lain yang lebih peka terhadap kebutuhan umat. Elit NU lebih disibukkan pada persoalan politik, perebutan struktur, dan pembagian “kue” yang rentan menimbulkan konflik dan perpecahan.

Kondisi dewasa ini struktural elit NU memang mengalami kemajuan, terutama dalam hal hubungan internasional, diplomasi, dan pada sebagian hal lain, tetapi anehnya itu tidak diberangi dengan memberikan perhatian kemajuan kehidupan sosial nahdliyin, terutama perhatian terhadap problem sosial kemasyarakatan (pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi berbasis keumatan) yang seringkali menjadi ancaman kehidupan masyarakat kelas bawah. Hal itu mengasumsikan bahwa seakan ada jarak yang sengaja dibikin oleh para elit guna mengamankan perjalanannya dalam menjalankan prinsip al-akhdzu (terus mengambil dan mengeksploitasi) atas nama organisasi untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Seakan masyarakat bawah adalah urusan agen kultur NU yang cukup diperhatikan oleh segentir orang yang memiliki komitmen terhadap citra khittoh perjuangan NU.

Berangkat dari bacaan kondisi riil masyarakat NU dari masa ke masa tersebut, sebagai anak muda NU, penulis merasa gembira dengan kemajuan NU saat ini, dan salut pada sebagian personal NU yang masih komit terhadap prinsip perjuangan khittoh UN. Tetapi pada kondisi lain, terutama kondisi “NU kampung” penulis merasa sedih karena organisasi sebasar ini tidak mampu mengentaskan warganya dari kemiskinan, kesakitan, ketertindasan, dan problem-problem sosial kemasyarakatan lainnya, bahkan hari ini organisasi yang mengklaim berbasis empatpuluh juta massa terancam eksistensinya oleh gerakan-gerakan islam fundamentalis, islam radikal, islam liberal, dan gerakan-gerakan islam yang terinjeksi setting neo-liberal, atau kalau boleh meminjam bahasa Rais ‘Am PBNU, K.H. Hasyim Muzadi, Islam berideologi transnasional.

Kemajuan dan kemunduran adalah merupakan suatu hal yang wajar, tetapi akan menjadi kurang ajar jika “kemunduran” yang dialami itu tidak disadari secara kolektif dan responsif, sehingga perubahan yang ditimbulkan berdasarkan kesadaran tersebut, akan berjalalan secara berkelanjutan (intiqomah). Kejadian yang berlalu adalah pengalaman, yang dapat dijadikan guru untuk melangkah ke depan. Warga NU dimasa lampau memiliki potensi besar pada sektor-sektor riil, pendidikan, ekonomi agraria, dan tradisi pembinaan kemasyarakatan yang berkesinambungan (sustanable). Potensi itu merupakan modal besar untuk kembali meneguhkan komintmen prinsip-prinsip perjuangan UN yang berbasis sosial kemasyarakatan. Artinnya gerakan NU ke depan harus konsen pada ranah “service publik”, menghidupkan sektor-sektor riil merupakan keharusan, guna menciptakan kemandirian dan kesejahteraan nahdliyin di semua lini dan level masyarakat, dari pada NU harus bergantung dan bernegosiasi dengan agen-agen yang tidak sesuai dengan arah khittoh perjuangan NU. Allahu ‘alamu bis Showabi
[1] Ketua Umum PC PMII Jakarta Pusat 2007 – 2008, Aktif Sebagai Mahasiswa STAINU Jakarta

Tidak ada komentar: